Makalah tentang Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 1 sampai 5

KATA PENGANTAR


Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt. berkat rahmat serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Study Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Baqarah ayat 1 -5 ”  ini dengan baik.

Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Tadrib Kutub al-Tafsir. Penulis menyadari masih banyak kekuarangan dan kesalahan dalam penulisan ini, maka saran dan kritik yang sifatnya konstruktif untuk penyempurnaan isi makalah ini sangatlah penulis harapkan, penulis akan menerima dan menyambutnya dengan segala kerendahan hati. Atas saran dan kritiknya penulis sampaikan terimakasih.





                                                                                    Surabaya, 16 April 2014

 

BAB I
PENDAHULUAN



Latar Belakang
Al Quran merupakan mu’jizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai petunjuk umat manusia diseluruh bumi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Al Quran merupakan sebuah sumber jawaban dari segala permasalahan manusia hingga hari kiamat.

Namun ayat ayat dalam Al Quran bersifat global atau umum, maka perlu adanya penafsiran ayat ayat tersebut agar bisa mengerti paling tidak maksud, serta tujuan yang terkandung didalamnya.

Dalam sejarah Islam, orang yang pertama kali menjadi mufassir ialah Nabi Muhammad SAW itu sendiri, tak ada keraguan sedikitpun dari para sahabat atas penafsiran yang dilakukan oleh Nabi.

Namun setelah nabi wafat tidak ada lagi tempat bertanya yang diyakini kebenaran tafsirnya, maka para sahabat nabi menafsirkan Al Quran secara ijtihad khususnya bagi mereka yang tergolong memiliki kemampuan menafsir, seperti: Ali Ibn Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin ka’ab, dan Ibnu Mas’ud. Berlanjut Mufassir pada masa tabi’in dan tabi’it tabiin, dan dimasa tabi’it tabiin inilah pada abad 8 H, tafsir Ibnu Katsir muncul, dan menjadi sebuah karya kitab tafsir popular hingga sekarang.

Dan seiring waktu kitab Tafsir Ibnu Katsir inilah yang paling banyak diterima umat diseluruh dunia karena memang kandungan serta metode yang dipakai Ibnu kastir memakai

Rumusan Masalah
dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan rumusan malah sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi Ibnu Katsir?

2. Apa metode Ibnu Kastir dalam membuat karya tafsirnya?

3. Bagaimana penafsiran Ibnu Kasir untuk Surah Al Baqarah ayat 1 – 5?

Tujuan Permasalahan
1. Utuk mengetahuhi secara singkat dan jelas sejarah biografi Ibnu Kasir

2. Untuk memahami metode serta corak apa yang telah dipakai Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.

3. Mengerti study tafsir ayat 1- 5 dalam surah Al Baqarah menurut penafsiran Ibnu Katsir





BAB II
PEMBAHASAN



A. Biografi Ibnu Katsir

Ibnu Katsir yang berasal dari Quraisy dan terlahir pada tahun 701 H di Majdal mempunyai nama lengkap ‘Imad ad-Din abu al-Fida’ Isma‘il Ibn Ẓara’ al-Buṣra ad-Dimasyqi, Nama samarannya Abu al-Fida’ dan terkenal dengan nama Ibnu Katsir.

Ketika usia anak-anak, setelah ayahnya meninggal, Ibnu Kasir diboyong kakanya, Kamal ad-Din ‘Abd al-Wahhab, dari desa kelahirannya ke Damaskus. Disana ia banyak belajar dari ulama ulama besar, diantaranya Ibnusy Syahnah, Al-Amadi, Ibnu Akasir, dan ulama’ besar yang lain. Beliau juga belajar kitab Tahzibul Kamal langsung pada Al-Mazi, dan pada akhirnya Ibnu Kastir dipungut menantu oleh beliau.[1]

Ibnu Katsir juga belajar kepada Ibnu Taimiyah bahkan mencintainya, sehingga beliau banyak sekali cobaan karena kecintaan beliau pada Ibnu Taimiyah. Seperti dalam kitab Tabaqat-nya Qadi Syahbah, beliau mengatakan Ibnu Katsir mempunyai hubungan khusus dengan Ibnu Taimiyah gurunya,  membela pendapatnya dan banyak mengikuti pendapatnya.

 Pada usia 11 tahun, beliau menyelesaikan hafalan Al Quran nya, lalu memperdalam ilmu qiraat, study tafsir dan ilmu tafsir dari Ibnu Taimiyah.[2] Dalam bidang sejarah, Ibnu Kasir banyak dipengaruhi oleh al-Ḥafiz al-Birzali (w. 739 H.), sejarawan dari kota Syam. Berkat al-Birzali dan tarikhnya, Ibnu Kasir menjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan sejarah islam (al-Bidayah wa an-Nihayah).

Dan dari sanalah beliau mendapat berbagai gelar yang diakui, seperti; Al Hafiz (seseorang yang mempunyai kapasitas hafalan 100.000 hadis baik matan maupun sanadnya), Al Muhaddis (orang yang ahli mengenai hadis riwayah dan dirayah, mengetahui cacat dan tidaknya, mengambil dari imam-iammnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan mengambil faedahnya), Al Faqih (gelar keilmuan bagi ulama yang ahli dalam hukum Islam fiqh, namun tidak sampai ke tingkatan mujtahid. Ia menginduk pada suatu mażhab, akan tetapi tidak taqlid), Al Muarrikh (seseorang yang ahli dalam bidang sejarah), dan Al Mufassir (orang yang ahli dalam bidang tafsir, menguasai perangkat-perangkatnya yang berupa ‘Ulum al-Qur’ān dan memenuhi syarat-syarat mufassir).

Selama hidupnya Ibnu Kaṡīr didampingi seorang istri yang bernama Zainab, putri al-Mizzī yang masih terhitung sebagai gurunya. Beliau wafat pada hari kamis 26 Sya’ban 774 H., bertepatan dengan bulan Februari 1373 M.[3]



B. Metode Penulisan Kitab Tafsir




            Didalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir secara jujur mengakui bahwa metode yang dipakai untuk mentafsirkan Al Quran itu sealur dan sejalur dengan metode yang digunakan oleh gurunya, yaitu Ibnu Taimiyah.

            Pemahaman yang orisinil untuk menjaga keauntetikan Al Quran inilah dan sunnah (hadis) inilah merupakan warna yang disajikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

            Ibnu Katsir dalam tafsirnya menggunakan metode sebagai berikut:

Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan satu ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan dengan abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain akan ada pengikatnya (muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan umum (’am) maka pada ayat yang lain di khususkan (khash).

Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah (Hadis).  Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadis bahkan mencapai 50 hadis,  kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isra.

Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu.

Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling akhir dalam cara menafsirkan Al-Qur`an dalam metode bil-ma`tsur. Ibnu Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir ibnu katsir telah menjadi rujukan kategori tafsir bil ma’tsur,

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al Baqarah ayat 1 – 5


Keutamaan Surah Al Baqarah.



Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya, bahwa Ad Darimi berkata di Musnad-nya melalui Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Tiada suatu rumah pun yang dibacakan surah Al Baqarah di dalamnya melainkan setan keluar darinya terburu-buru.” Selanjutnya Ibnu Mas’ud r.a mengatakan pula:”Sesungguhnya segala sesuatu mempunyai punuk, dan sesungguhnya punuk Al Quran ialah Surah Al Baqarah. Sesungguhnya segala sesuatu mempunyai inti, dan inti dari Al Quran ialah Surah Mufassal.”

Khalid Ibn Ma’dan mengatakan: “Surah Al Baqarah ialah fustat (perhiasan) Al Quran.

Ibnu Huraij mengatakan dari Ata’ dari Ibnu Abbas, bahwa surat Al Baqarah di turunkan di Madinah. Khasif mengatakan dari mujahid,dari Abdullah Ibnu Zubair yang mengatakan bahwa Surah Al Baqarah diturunkan di Madinah.



Tafsir Al Baqarah ayat 1 – 5


الم

Alif laam Miim



            Para ulama’ tafsir berselisih pendapat tentang huruf huruf yang mengawali dibanyak surah Al Quran. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang hanya di mengerti oleh Allah swt saja, maka mereka pun mengembalikan pengertian ini kepada Allah dan tidak berani mentafsirkannya. Hal diatas menurut riwayat Al Qurtubi melalui kitab tafsirnya melalui Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Ibnu Mas’ud.

            Ada juga yang mengatakan bahwa alif lam mim, ha mim, alif lam mim sad, dan sad merupakan pembuka pembuka surat yang diberlakukan oleh Nya dalam Al Quran. Hal ini dari Sofyan As Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.

            As sya’bi mengatakan, fawatihus suwar merupakan asma asma Allah. Hal senada dikatakan oleh Salim Ibnu Abdullah dan Ismail Ibnu Abdur Rahman As Syaddiyyul Kabir Syu’bah mengatakan dari As Saddi, telah sampai kepadanya suatu berita yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata: “alif lam mim merupakan asma Allah yang teragung”

            Ada juga yang berpendapat bahwa alif lam mim merupakan qasam (sumpah),yang dipakai oleh Allah karena merupakan salah satu dari asma-asmaNya. Dan Ibnu Jarir telah mengumpulkan semua pendapat pendapat diatas dan menyimpulkan bahwa pendapat pendapat diatas sebenarnya tidak ada yang bertentangan dan semua pendapat dapat disimpulkan, yaitu: “huruf-huruf tersebut merupakan nama surat-surat, nama asma-asma-Nya, dan pendahuluan surat-surat.”

            Ibnu Jarir melanjutkan bahwa tidak menutup kemungkinan bilamana sebagian dari huruf-huruf diatas mewakili dari nama-nama atau sifat-sifat Allah.

Singkatnya alif lam mim dan huruf sejenisnya  sebenarnya mempunyai banyak makna, seperti lafaz al ummah adakalanya bermakna agama, seperti yang terdapat dalam lafaz Nya:



وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi Peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.”



            Adakalanya lafaz al ummah menunjukan kata “jama’ah”, seperti makna yang terkandung dalam firmanNya:



إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).

            Ibnu Katsir pun mengungkapkan pendapat pribadinya, bahwa mengingat kembali surah-surah yang diawali dengan huruf-huruf tersebut pasti didalamnya disebutkan keunggulan dari Al Quran dan keterangan mengenai mu’jizatnya serta keagungannya. Hal ini dapat diketahui melalui penelitian, dan hal ini terjadi pada dua puluh Sembilan  surat, seperti Surah Al baqarah 1-2, Ali Imran 1-3, Al A’raf 1-3 dan masih banyak lagi ayat yang lainya yang menunjukan kebenaran bagi orang yang berfikir secara dalam serta menekuninya.



ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ

Inilah kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan didalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa



            Ibnu Juraij mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata makna zalikal kitabu adalah kitab ini, yaitu Al Quran. Hal yang senada dikatakan oleh Mujahid, ikhrima,Sa’id Ibnu jabir, dan As Saddi. Memang kebiasaan orang-orang arab itu menyilih gantikan isim isyaroh (kata petunjuk) dalam percakapan sehari hari.

            Sedangkan Ibnu Jarir berpendapat bahwa zalikal kitabu merupakan isyaroh kepada Kitab Taurat dan Injil. Namun hal ini jauh sekali dari kebenaran, sebab menurut Ibnu Katsir dia seperti tenggelam dalam perselisihan dan pemaksaan pendapat, karena dia sendiri tak mengetahui pengetahuan tentangnya.[4]

            Sebagian mufasir mengatakan, meski ayat ini berupa berita, maknanya adalah perintah. Yakni, janganlah kalian meragukannya. Hidayah dikhususkan bagi orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah., ‘Al-Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS Fush-shilat:44).

                As-Sudi mengatakan hudan lil muttaqin artinya cahaya bagi orang-orang yang bertaqwa. Dari Ibn Abbas disebutkan, Al muttaqun adalah orang-orang beriman yang menjauhkan diri dari syirik dan menjalankan ketaatan kepada Allah. Al Hasan al Bishri berkata, mereka menjauhkan diri dari apa-apa yang diharamkan atas mereka dan mereka menunaikan apa-apa yang diwajibkan atas mereka.

            Qatadah mengatakan bahwa muttaqin merupakan orang orang yang disebut dalam firman Allah yang artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat (Al Baqarah: 3)

ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ

(yaitu) orang orang yang beriman kepada yang ghaib

            Abu Ja’far Ar Razi meriwayatkan dari Al Ala ibnu Musayyab ibnu Rafi, dari Abu Ishaq dari Abu Ahwas, dari Abdulloh (Ibnu Mas’ud) yang pernah mengatakan bahwasanya iman ialah percaya.

            Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa orang orang yang beriman ialah orang orang yang percaya (membenarkan). Dari Abu Ja’far  Ar razi mengatakan dari Ar Rabi’, Ibnu Anas bahwa orang orang yang beriman ialah orang orang yang takut (kepada Allah).

            Hakikat keimanan adalah pembenaran yang total terhadap apapun yang dikabarkan oleh para Rasul, yang meliputi ketundukan anggota tubuh, dan tidaklah perkara dalam keimanan itu hanya kepada hal-hal yang dapat diperoleh oleh panca indera semata, karena hal itu tidaklah mampu membedakan antara seorang muslim dengan seorang kafir, namun perkara yang dianggap dalam keimanan kepada yang ghaib adalah yang tidak kita lihat dan saksikan, namun kita hanya bisa mengimaninya saja karena ada kabar dari Allah dan kabar dari RasulNya.

            Menurut sebagian imam, jika digunakan secara mutlak, maka iman yang dikehendaki oleh syara’ ialah iman yang memiliki tiga unsur: keyakinan,ucapan,dan perbuatan. Bahkan menurut riwayat Imam Syafi’i, Imam Ahmad Ibnu hambal, dan Abu Ubaidillah, ijma’ dengan pengertian sebagai berikut: Iman ialah ucapan dan perbuatan serta dapat bertambah dan berkurang.

            Mengenai yang dimaksud dengan lafaz al gaib, menurut Abdul Aliyah makna yang dimaksud adalah “mereka yang beriman kepada Allah, para malaikat Nya, kitab kitabNya, rasul rasul Nya, hari kemudian, surga dan neraka, juga beriman kepada hari sesudah mati dan hari bangkit.

وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُوْنَ

Dan mereka mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka

            Ibnu Abbas mengatakan, makna “mereka mendirikan shalat” ialah mereka yang mendirikan fardu fardu shalat. Sedang Qatadah berpendapat mendirikan shalat ialah memelihara waktu waktunya, menyempurnakan wudu, sujud, bacaan Al Quran, bacaan tasyahud, dan Shalawat buat nabi di dalam shalat.

            Qatadah juga mengatakan bahwa “menafkahkan sebagian rizeki…” artinya nafkahkanlah sebagian dari apa yang telah Allah berikan kepada kalian, sebab harta didunia merupakan titipan dan pinjaman ditanganmu.

            Menurut Ibnu Katsir sendiri Allah swt sering kali menggandengkan antara shalat dan member nafkah, karena shalat sebagai hak Allah dan sebagai penyembahan kepadaNya. Di dalam shalat terkandung makna mentauhidkan Allah, memuji, mengagungkan, dan bertawakal kepadaNya. Sedang didalam infak terkandung pengertian perbuatan bijak kepada makhluk, yaitu dengan mengulurkan bantuan kepada mereka.

            Karena itu, didalam kitab sohihaintelah disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “islam dibangun  atas lima perkara, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusanNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa dibulan ramadhan, dan menunaikan haji.”

وَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِن قَبْلِكَ وَ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ

Dan mereka beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab kitab yang telah diturunkan sebelum kamu, serta mereka yang meyakini akan adanya (kehidupan) akherat.

            Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa makna firmanNya dalam surah Al Baqarah ayat 4 di atas ialah “mereka percaya apa yang engkau datangkan dari Allah, dan percaya kepada apa yang telah diturunkan kepada Rasul Rasul sebelum kamu tanpa membeda bedakan diantara mereka. Mereka yakin akan adanya kehidupan akherat yakni percaya akan adanya hari bangkit, surga, neraka, hisab dan mizan,. Sesungguhnya hari kemudian disebut hari akherat karena terjadi setelah kehidupan di dunia.

         

أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang orang yang beruntung



Ula-ika (mereka itu) artinya mereka yang digambarkan sebelumnya, yakni yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan apa yang Allah rezekikan kepada mereka, beriman kepada apa yang diturunkan kepada Rasulullah dan meyakini datangnya hari akhirat.

‘Ala hudan (di atas petunjuk) artinya berjalan di atas cahaya, keterangan, dan bashirah (penglihatan batin) dari Allah. Wa ulaika humul-muflihun (dan mereka itulah orang-orang yang beruntung), di dunia dan akhirat. Ibn Abbas mengatakan, ala hudan min rabbihim artinya berjalan di atas cahaya dari Tuhan mereka dan senantiasa istiqamah atas apa yang dibawakan kepada mereka. Sedangkan wa ulaika humul muflihun artinya mereka mendapatkan apa yang mereka tuntut dan mereka selamat dari keburukan yang mereka hindari.

Telah dinukil sebuah riwayat dari Mujahid, Abul Aliyah, dan Ar Rabi’ ibnu Anas, Qatadah dan Ibnu abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami yahya ibnu utsman ibnu sholeh  Al Misri telah menceritakan pada kami ayahku, telah menceritakan pada kami Ibnu Luhai’ah telah menceritakan pada kami Abdulloh ibnu Mughirah, dari Abul Haisan yang nama aslinya ialah Sulaiman ibnu Abdulloh dari Abdullah ibnu Amr dari Nabi SAW. Pernah dikatakan kepada rasulullah ‘sesungguhnya kami tetap membaca Al Quran lalu kami berdoa, dan kami tetap membaca Al Quran hingga hamper saja kami putus asa” Maka Nabi Saw bersabda: “maukah kalian aku beritahu tentang penduduk surge dan penduduk neraka?” mereka menjawab: ‘tentu saja kami mau ya Rasulallah” Nabi membaca firmanNya yang artinya: “Alif lam mim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan didalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa…..” (Al baqarah 1 – 5)

Kemudian nabi bersabda: “mereka adalah penduduk surga” Mereka 9para sahabat) berkata: “sesungguhnya kami berharap semoga diri kami termasuk golongan mereka”lalu Nabi membaca firmanNya surah Al Baqarah ayat 6 – 7, lalu beliau bersabda: “mereka adalah penduduk neraka” Mereka (para sahabat) berkata: “ wahai rasulullah, sesungguhnya kami bukan termasuk golongan mereka” Beliau menjawab: “iya”,

Berjalan menempuh hidup, di atas jalan Shirothol Mustaqim, dibimbing selalu oleh Tuhan, karena dia sendiri memohonkanNya pula, bertemu taufik dengan hidayat, sesuai kehendak diri dengan ridha Allah, maka beroleh kejayaan yang sejati, menempuh suatu jalan yang selalu terang benderang, sebab pelitanya terpasang dalam hati sendiri; pelita iman yang tidak pernah padam.




BAB III

KESIMPULAN



            Para mufasir berbeda pendapat tentang potongan huruf-huruf di awal-awal surah. Di antara mereka ada yang mengatakan, itu termasuk sesuatu yang hanya diketahui Allah. Ada juga yang mengatakan bahwa alif lam mim, ha mim, alif lam mim sad, dan sad merupakan pembuka pembuka surat yang diberlakukan oleh Nya dalam Al Quran. Hal ini dari Sofyan As Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.

Ibn Abbas mengatakan, Dzalikal-kitab (kitab itu) artinya hadzal-kitab (kitab ini). Orang-orang Arab suka menggunakan dua isim isyarah, kata penunjuk, secara saling menggantikan. Mereka menggunakan masing-masing di tempat yang lain.
As-Sudi mengatakan hudan-lil-muttaqin artinya nuran-lil-muttaqin ( cahaya bagi orang-orang yang bertaqwa). Dari Ibn Abbas disebutkan, Al-muttaqun adalah orang-orang beriman yang menjauhkan diri dari syirik dan menjalankan ketaatan kepada Allah.

Allah sering mengiringkan shalat dan menafkahkan harta. Shalat merupakan hak Allah dan ibadah kepada-Nya, dan ia mencakup pengesaan terhadap-Nya, pujian kepada-Nya, doa, serta tawakal kepada-Nya. Sedangkan menafkahkan harta adalah kebaikan kepada para makhluk dengan memberikan manfaat kepada mereka. Orang yang paling patut menerima itu adalah keluarga, kerabat, hamba-hamba sahaya, kemudian orang-orang lain (yang tak ada hubungan apa-apa dengannya).


Daftar Pustaka

[1]Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo) hlm, viii

[2]Ibid,..  hlm, ix

[3]Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), hlm. 38.

[4] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul ‘adzim, Beirut : Daarul Jiil, 1991, hal 194